Senin, 16 November 2015

Cerita Rakyat Dairi Pakpak

     Di Kabupaten Dairi Kecamatan Sidikalang terdapat sebuah desa. Dimana desa ini juga merupakan dusun tertua di Kabupaten Dairi. Daerah ini merupakan tanah wilayah marga Saraan. Mungkin kita sering mendengar desa Batu Kerbo  yang artinya adalah batu yang merupakan benda mati dan kerbo yang artinya dalam bahasa Pakpak jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia artinya Kerbau. Ini asli dari daerah Kabupaten Dairi, Kecamatan Lae Parira yang terletak di Tebing Barat ruas sungai Lae Simbelen. Nama Batu Kerbo ditujukan terhadap objek berupa pahatan menyerupai Kerbau. Dimana pahatan tersebut lengkap dengan badan, kepala, mata, hidung, mulut, dan juga tanduk. Yang ukurannya adalah 172 cm x 142 cm dengan 97 cm.



     Penuturan penduduk setempat tentang sejarah Batu Kerbo terjadi karena adanya ketidakjujuran dan tidak saling  menghargai antara sesama manusia. Berawal dari seorang marga Saraan dari lebbuh (kampung) Saraan meminang putri dari pertaki (kerajaan) angkat yang memiliki paras yang sangat cantik tapi memiliki kekurangan yaitu cacat fisik yaitu tidak bisa berjalan.

     Walaupun kondisi putri Nantampuk Mas (Putri Desa) marga angkat cacat, namun pernikahan antara putri Nantampuk Mas dengan marga Saraan itu tetap berlangsung tanpa diketahui marga Saraan bahwa sebenarnya putri Nantampuk Mas cacat. Dengan syarat marga Saraan tidak boleh membiarkan putri Nantampuk Mas berjalan kaki menuju Lebbuh (Kampung) Saraan. Tetapi, putri Nantampuk Mas tersebut harus diantar sampai ke rumah marga Saraan.

     Selama berminggu-minggu putri Nantampuk Mas tinggal di rumah marga Saraan tetapi putri Nantampuk Mas tidak pernah keluar dari dalam kamar, sehingga pihak keluarga marga Saraan curiga terhadap keadaan putri Nantampuk Mas. Akhirnya pihak keluarga marga Saraan memeriksa ke dalam kamar putri Nantampuk Mas. Keluarga marga Saraan terkejut melihat putri Nantampuk Mas istri yang disayangi marga Saraan tersebut ternyata tidak bisa berjalan. Walaupun demikian Saraan tetap menyayangi dan mencintai putri Nantampuk Mas dengan penuh kasih. Berbeda dengan adik-adik dan ibu marga Saraan yang semula menyayangi putri Nantampuk Mas berubah menjadi benci. Mereka berkata bahwa putri Nantampuk Mas hanyalah menjadi beban bagi keluarga Saraan. Berbagai hinaan sering dilontarkan terhadap putri Nantampuk Mas sehingga membuatnya tidak sanggup lagi untuk bertahan di rumah saraan dan memilih untuk kembali ke rumah orang tuanya di lebbuh (kampung) marga angkat.

     Dengan ditemani seekor anjing, putri Nantampuk Mas kembali ke lebbuh marga Angkat. Kejadian ini dianggap penghinaan oleh keluarga marga Angkat yaitu keluarga dari putri Nantampuk Mas. Sehingga mengakibatkan marga Angkat berencana melakukan perang terhadap marga Saraan. Namun marga Saraan mendengar berita tersebut, maka marga Saraan pun menjadi takut dan datang untuk meminta maaf kepada marga Angkat. Dan sebagai tanda permintaan maaf marga Saraan kepada marga Angkat tersebut, maka marga Saraan harus membayar tujuh (7) ekor kerbau kepada marga Angkat. Tetapi kerbau yang diberikan marga Saraan hanya enam (6) ekor dan satu (1) ekor lagi sebagai hutang dari marga Saraan. 

     Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, namun hutang tersebut tidak dibayar oleh marga Saraan. Sehingga pada suatu hari marga Angkat melakukan pesta besar yang harus menyembelih tujuh (7) ekor kerbau tetapi kerbau yang tersedia masih enam (6) ekor. Dan marga Angkat menagih hutang satu (1) ekor kerbau kepada marga Saraan. Akan tetapi marga Saraan menganggap ini suatu penghinaan bagi mereka karena marga Saraan telah menerima putri Nantampuk Mas dengan apa adanya tetapi masih saja menagih hutang. Anggapan marga Saraan walaupun mereka masih berhutang kepada marga Angkat tetapi itu tidak pantas ditagih kembali.

     Dengan terpaksa marga Saraan menyerahkan satu (1) ekor kerbau yang diminta marga Angkat. Namun dengan susah payah kerbau tersebut ditarik ke lebbuh (kampung) marga Angkat. Akan tetapi kerbau tersebut tidak bergerak atau tidak melawan. Tiba-tiba alam bergemuruh petir dan halilintar bersahutan, dan tiba-tiba kerbau yang dibawa marga Saraan berubah menjadi batu dan terdengar suara aneh yang berkata, "Hai cucuku karena pertikaian ini maka kerbo ini ku jadikan batu sebagai bukti perdamaian diantara kalian. di bawah batu ini mengalir air jernih yang tidak akan pernah kering walaupun musim kemarau. Jika ada keturunanmu yang sakit, minumlah air ini dan bersihkanlah tubuhnya dengan air ini supaya ada ketenangan dan kedamaian. Sejak kejadian itu, dinamakanlah batu itu menjadi "Batu Kerbo" dan nama desa itupun dinamai dengan Bantun Kerbo.








Kamis, 12 November 2015

Tarombo dan Sejarah Marga Gurning


     Marga Gurning adalah satu kesatuan dengan garis silsilahnya yang menjadikan satu keluarga besar dimana pun dia tinggal atau berada.

Marga dalam Suku Batak
     Marga menjadi identitas orang batak dalam masyarakat dan juga di adat. Marga diturunkan dari ayah kepada anak-anaknya (patriarchal). Marga yang turun temurun dari oppung (kakek) kepada ama (bapak), kepada anak ke pahopp (cucu), kepada nini (cicit), dst. Marga lebih sering digunakan daripada nama. Biasanya kalau orang Batak nama itu disingkat saja. Contoh : Dinayati Gurning disingkat menjadi D. Gurning.

     Berdasarkan historis Budaya Batak bahwa masyarakat Batak berasal dari "SIRAJA BATAK".
Anak siraja Batak ada dua orang yaitu: 
1. Guru Tatea Bulan/Naimarata (G.1)
2. Raja Sumba (G.1)

Guru Tatea Bulan/Naimarata diberkati 5 orang anak, yaitu:
1. Raja Uti/Raja Gumeleng-geleng (G.2)
2. Saribu Raja (G.2)
3. Limbong Mulana (G.2)
4. Sagala Raja (G.2)
5. Gurning Raja (G.2)


     Dengan demikian terlihatlah bahwa sejak dahulu sampai dengan masa sekarang bahwa nenek moyang kita Malau Raja mampu mempersatukan semua anak-anaknya atau Pomparannya didalam satu lingkaran kehidupan yang saling menghormati. Dari pemahaman dan penjelasan tersebut, maka dimohon dengan sangat supaya pomparan Malau Raja memahami arti "SILAU RAJA" dan arti "MALAU RAJA".Bila dikatakan Malau Raja, maka kelima anaknya termasuk di dalamnya, yaitu :
1. Malau Pase (G. 3)
2. Malau Lambean (G. 3)
3. Malau Manik (G. 3)
4. Malau Ambarita (G. 3)
5. Malau Gurning (G. 3)

     Bila yang dimaksud Silau Raja, maka itu dilandaskan pada Marga. Dengan demikian Pomparan Malau Raja terdiri dari 4 marga, yaitu :
1. Marga Malau 
2. Marga Manik
3. Marga Ambarita 
4. Marga Gurning.

     Asal Malau Raja selain dari Sianjur Mula-mula, juga ada yang berasal dari Pangururan dan sebagian merantau ke Porsea, Sibane-bane (Paraduan), Puhit, Ajibata (Sipolha), dan Harian Boho. Kelima tempat tersebut saat ini telah dinamai "Bonapasogit" oleh masing-masing keturunan.

     Di Bonapasogit, tempat asal usul Pomparan Malau Raja sangat jelas tampak bahwa semuanya sama-sama saling menghormati dan menghargai serta memegang teguh bahwa Pomparan Malau Raja terdiri atas lima. Dan inilah yang akan menjadi cikal bakal lahirnya 4 MARGA yang tergabung dalam Silau Raja.

     Jadi jangan salah paham bagi Pomparan Malau Raja terutama yang sudah menikmati kemajuan masa kini dimanapun dia berada yang menurunkan harga diri diantara Pomparan Malau Raja. Jangan sampai ada yang menyatakan bahwa Pomparan Malau Raja hanya terdiri dari empat keturunan saja. 

     Diantara sesama Pomparan terdapat dua pandangan yang marak beredar, ada yang menyatakan 4 dan ada yang menyatakan 5. Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberi pemahaman yang lebih luas dan positif diantara kita semua Pomparan Malau Raja dan Marga Silau Raja. Zaman sudah berkembang kita sudah hidup di zaman modern yang sangat maju. Kita tidak lagi tinggal di era kegelapan, tapi sudah hidup di daerah yang terang dan luas bahwa Sinar terang Allah sudah menghidupi kita di masa kehidupan globalisasi yang sangat indah yang diikat dengan Tali Kasih Yesus Kristus. Perkembangan itu sangat jelas mulai dari permulaan kehidupan nenek moyang kita Malau Raja di dalam suasana kehidupan ke-animisme-an, sampai pada kita sekarang yang sudah hidup dalam suasana serba modern. 

Ada Motto yang mengatakan: "Marsipaidaan asa marsitandaan"
                                                       "Marsipaboaan asa marsibotoan"
                                                       "Marsipatorangan asa marsiantusan"

     Dalam Penelahan Sejarah yang dibuat Drs. Gens G. Malau Ompu Linggom Batu Pagar Bolak yang pernah dimuat di Majalah Horas, No. 51/18-30 November 2005, hlm.32-33).
"... penjelasan arti Malau yang kemudian menjadi Marga Malau:
1. Guru Tatea Bulan/Naimarata memiliki 5 Putra dan 5 Putri. Putra bungsunya ialah "Malau       Raja", diperkirakan lahir pada tahun 1195, dialah leluhur Malau.
2. Malau Raja Punya keturunan:
    1. Malau Pase (Memakai marga Malau)
    2. Malau lambe (memakai marga Malau)
    3. Malau Manik (memakai marga Manik)
    4. Malau Ambarita (memakai marga Ambarita)
    5. Malau Gurning (memakai marga Gurning)--> Tapi dalam perjalanan untuk     membedakan Gurning pomparan Saribu Raja dengan Malau Raja, maka sekarang Gurning dari keturunan Malau Raja memakai marga Malau Gurning.
3. Di wilayah Hunian Simanindo (bagian Utara Samosir) nama leluhur Malau Raja berubah menjadi Silau Raja ama dengan di seluruh Simalungun. sebutan ini dimasyarakatkan oleh Mr. Djariaman Damanik saat menjabat Ketua Pengadilan Negeri Medan juga menjadi Ketua Punguan Silau Raja tahun 1952 di Jalan Listrik Medan. Silau Raja dengan hanya 4 anak (Malau, Manik, Ambarita dan Gurning). 

     Penting juga diberitahukan mengenai siapa isteri dari leluhur kita, Op Gens Malau juga mengutarakan hal itu:
Op. Malau Raja memiliki 3 isteri, yaitu:
1. Ompunta Br Simbolon
2. Ompunta Br. Sitepang (Sitanggang)
3. Ompunta Br. Purba Siboro.

Berikut saya lampirkan Tugu Malau Raja :
Tugu Malau - Batu Persatuan Marga Malau 

Tugu Malau - Batu Persatuan Marga Malau 







Horas Malau Gurning !!!!!



 Kunjungi saya di :