Penuturan penduduk setempat tentang sejarah Batu Kerbo terjadi karena adanya ketidakjujuran dan tidak saling menghargai antara sesama manusia. Berawal dari seorang marga Saraan dari lebbuh (kampung) Saraan meminang putri dari pertaki (kerajaan) angkat yang memiliki paras yang sangat cantik tapi memiliki kekurangan yaitu cacat fisik yaitu tidak bisa berjalan.
Walaupun kondisi putri Nantampuk Mas (Putri Desa) marga angkat cacat, namun pernikahan antara putri Nantampuk Mas dengan marga Saraan itu tetap berlangsung tanpa diketahui marga Saraan bahwa sebenarnya putri Nantampuk Mas cacat. Dengan syarat marga Saraan tidak boleh membiarkan putri Nantampuk Mas berjalan kaki menuju Lebbuh (Kampung) Saraan. Tetapi, putri Nantampuk Mas tersebut harus diantar sampai ke rumah marga Saraan.
Selama berminggu-minggu putri Nantampuk Mas tinggal di rumah marga Saraan tetapi putri Nantampuk Mas tidak pernah keluar dari dalam kamar, sehingga pihak keluarga marga Saraan curiga terhadap keadaan putri Nantampuk Mas. Akhirnya pihak keluarga marga Saraan memeriksa ke dalam kamar putri Nantampuk Mas. Keluarga marga Saraan terkejut melihat putri Nantampuk Mas istri yang disayangi marga Saraan tersebut ternyata tidak bisa berjalan. Walaupun demikian Saraan tetap menyayangi dan mencintai putri Nantampuk Mas dengan penuh kasih. Berbeda dengan adik-adik dan ibu marga Saraan yang semula menyayangi putri Nantampuk Mas berubah menjadi benci. Mereka berkata bahwa putri Nantampuk Mas hanyalah menjadi beban bagi keluarga Saraan. Berbagai hinaan sering dilontarkan terhadap putri Nantampuk Mas sehingga membuatnya tidak sanggup lagi untuk bertahan di rumah saraan dan memilih untuk kembali ke rumah orang tuanya di lebbuh (kampung) marga angkat.
Dengan ditemani seekor anjing, putri Nantampuk Mas kembali ke lebbuh marga Angkat. Kejadian ini dianggap penghinaan oleh keluarga marga Angkat yaitu keluarga dari putri Nantampuk Mas. Sehingga mengakibatkan marga Angkat berencana melakukan perang terhadap marga Saraan. Namun marga Saraan mendengar berita tersebut, maka marga Saraan pun menjadi takut dan datang untuk meminta maaf kepada marga Angkat. Dan sebagai tanda permintaan maaf marga Saraan kepada marga Angkat tersebut, maka marga Saraan harus membayar tujuh (7) ekor kerbau kepada marga Angkat. Tetapi kerbau yang diberikan marga Saraan hanya enam (6) ekor dan satu (1) ekor lagi sebagai hutang dari marga Saraan.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, namun hutang tersebut tidak dibayar oleh marga Saraan. Sehingga pada suatu hari marga Angkat melakukan pesta besar yang harus menyembelih tujuh (7) ekor kerbau tetapi kerbau yang tersedia masih enam (6) ekor. Dan marga Angkat menagih hutang satu (1) ekor kerbau kepada marga Saraan. Akan tetapi marga Saraan menganggap ini suatu penghinaan bagi mereka karena marga Saraan telah menerima putri Nantampuk Mas dengan apa adanya tetapi masih saja menagih hutang. Anggapan marga Saraan walaupun mereka masih berhutang kepada marga Angkat tetapi itu tidak pantas ditagih kembali.
Dengan terpaksa marga Saraan menyerahkan satu (1) ekor kerbau yang diminta marga Angkat. Namun dengan susah payah kerbau tersebut ditarik ke lebbuh (kampung) marga Angkat. Akan tetapi kerbau tersebut tidak bergerak atau tidak melawan. Tiba-tiba alam bergemuruh petir dan halilintar bersahutan, dan tiba-tiba kerbau yang dibawa marga Saraan berubah menjadi batu dan terdengar suara aneh yang berkata, "Hai cucuku karena pertikaian ini maka kerbo ini ku jadikan batu sebagai bukti perdamaian diantara kalian. di bawah batu ini mengalir air jernih yang tidak akan pernah kering walaupun musim kemarau. Jika ada keturunanmu yang sakit, minumlah air ini dan bersihkanlah tubuhnya dengan air ini supaya ada ketenangan dan kedamaian. Sejak kejadian itu, dinamakanlah batu itu menjadi "Batu Kerbo" dan nama desa itupun dinamai dengan Bantun Kerbo.