Rabu, 02 Desember 2015

Sejarah Pahlawan Sisingamangaraja XII

     Sisingamangaraja XII adalah seorang raja di negeri Toba, Sumatera Utara yang lahir di Bakara 18 Februari 1845 dan meninggal di Dairi 17 Juni 1907 pada umur 62 tahun. Sisingamangaraja XII pejuang yang berperang melawan Belanda. Ketika Sisingamangaraja XII dinobatkan sebagai Raja Batak yang umurnya masih 19 tahun. Sampai pada tahun 1886, hampir seluruh wilayah  Sumatera sudah di kuasai belanda kecuali Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai dibawah pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda.

     Tahun 1837 kolonialis belanda memadamkan "Perang Paderi" dan melapangkan jalan bagi pemerintahan kolonial di Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Minangkabau jatuh ke tangan Belanda dan menyusul daerah Mandailing Natal, Barumun, Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Barus dan kawasan Sibolga.

     Karena itu sejak tahun 1837 tanah Batak terpecah menjadi 2 bagian, yaitu daerah-daerah yang telah direbut Belanda menjadi daerah Gubernemen yang disebut "Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden" dengan seorang Residen berkedudukan di Sibolga yang secara administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang. Sedangkan tanah Batak lainnya yaitu daerah-daerah Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Samosir, belum berhasil dikuasai oleh Belanda dan tetap diakui Belanda sebagai tanah Batak yang merdeka.

     Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan Tentaranya mendarat di pantai-pantai Aceh. Saat itu tanah Batak dimana Raja Sisingamangaraja XII berkuasa, masih belum dijajah Belanda. Tetapi 3 tahun kemudian yaitu pada tahun 1876, Belanda mengumumkan "Regerings Besluit" yang menyatakan daerah Silindung/Tarutung dan sekitarnya dimasukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tuduk kepada Residen Belanda di Sibolga, suasana di Tanah Batak di bagian Utara menjadi panas. Raja Sisingamangaraja XII yang kendati yang secara klan, bukan berasal dari Silindung, namun sebagai raja yang mengayomi raja-raja lainnya di seluruh tanah Batak, bangkit kegeramannya melihat Belanda mulai menganeksasi tanah-tanah Batak.

     Raja Sisingamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda mulai mencaplok wilayah Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humbang, Samosir, Dairi, dll. Raja Sisingamangaraja XII cepat bertindak, beliau segera mengambil langkah-langkah konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil 3 keputusan yaitu:
1. Menyatakan perang terhadap Belanda
2. Zending agama tidak diganggu
3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.

     Dari peristiwa ini, Sisingamangaraja XII lah yang punya semangat yang tinggi mengumumkan perang terhadap Belanda yang ingin menjajah. terlihat pula, Sisingamangaraja XII bukan anti agama, dan Sisingamangaraja XII di zamannya sudah dapat membina azas dan semangat persatuan dan suku-suku lainnya.

     Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu. Dimulai dari Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama 3 Dasawarsa (30 tahun). Belanda mengarahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh menyerang pasukan rakyat semesta yang di pimpin Raja Sisingamangaraja XII.

     Pasukan Belanda yang datang menyerang ke arah Bakara, tempat istana dan maskar besar Sisingamangaraja XII di Tangga Batu, Balige mendapat perlawanan dan berhasil dihempang.
Belanda merubah taktik, ia menyerbu pada babak berikutnya ke kawasan Balige untuk merebut kantong logistik Sisingamangaraja XII di daerah Toba, dan selanjutnya mengadakan blokade terhadap Bakara.

     Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige dikuasai Belanda, sedangkan daerah Laguboti masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima Sisingamangaraja XII yaitu panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Setalah 1 tahun kemudian Laguboti jatuh setelah Belanda mengarahkan pasukan satu batalion tentara bersama barisan penembak-penembak meriam.

    Tahun 1883 seperti yang dikuatirkan jauh sebelumnya oleh Sisingamangaraja XII, kini giliran Toba yang dianeksasi Belanda. Domino berikut yang dijadikan pasukan Belanda yang besar dari Batavia (Jakarta sekarang), mendarat di pantai Sibolga dan juga diarahkan pasukan dari Padang Sidempuan. Raja Sisingamangaraja XII membalas serangan Belanda di Balige dari arah Huta Pardede. Baik kekuatan laut dari Danau Toba, pasukan Sisingamangaraja XII diarahkan. 40 Solu Bolon atau kapal yang masing-masing panjangnya sampai 20 m dan mengangkut pasukan sebanyak 20 x 40 orang menjadi 800 orang yang melaju menuju Balige.

     Tahun 1883 Belanda benar-benar mengeluarkan seluruh kekuatannya dan Sisingamangaraja XII beserta para panglimanya juga bertarung dengan gigih. Di tahun itu, hampir seluruh tanah Batak pasukan Belanda harus bertahan dari serbuan-serbuan pasukan-pasukan yang setia kepada perjuangan Raja Sisingamangaraja XII. Namun pada tanggal 12 Agustus 1883, Bakara tempat istana dan markas besar Sisingamangaraja XII berhasil direbut oleh pasukan Belanda. Sisingamangaraja XII mengundurkan diri ke Dairi bersama keluarganya dan pasukannya yang setia, juga ikut panglima-panglimanya yang terdiri dari suku Aceh dll.

    Pada waktu itulah gunung Krakatau meletus awan hitam menggelapi tanah Batak. Suatu alamat buruk seakan-akan datang. Sebelum peristiwa ini, pada situasi yang kritis Sisingamangaraja XII berusaha melakukan konsolidasi memperluas front perlawanan. Beliau berkunjung ke Asahan, Tanah Karo dan Simalungun, demi koordinasi perjuangan dan perlawanan terhadap Belanda. Dalam gerak perjuangannya itu banyak sekali kisah tentang kesaktian Raja Sisingamangaraja XII. Perlawanan pasukan Sisingamangaraja XII semakin melebar dan seru, tetapi Belanda juga berani mengambil resiko besar dengan terus mendatangkan para bantuan dari Batavia, Fort de kok, Sibolga dan Aceh. Barisan Marsuse juga didatangkan bahkan para tawanan diboyong dari Jawa untuk menjadi umpan peluru dan tameng pasukan Belanda.

     Pada tahun 1889 regu pencari jejak dari Afrika, juga didatangkan untuk mencari persembunyian Sisingamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang senegal. Oleh pasukan Sisingamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki "Si gurbak ulu na birong". Tetapi pasukan Sisingamangaraja XII terus bertarung. Panglima Sarbut Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar. Sedangkan Belanda menyerbu Lintong dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi Sisingamangaraja XII menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja, Simangarongsang, Hutapaung, Parsingguran dan Pollung. Panglima Sisingamangaraja XII yang menjadi penasehat khusus Raja Sisingamangaraja XII, Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda.

     Tahun 1890 Belanda membentuk pasukan khusus Marsose untuk menyerang Sisingamangaraja XII. Pada awal abad ke-20 Belanda mulai berhasil di Aceh. Tahun 1903 Panglima Polim menghentikan perlawanan. Tetapi di Gayo, dimana Raja Sisingamangaraja XII pernah berkunjung, Perlawanan masih sengit. Masuklah pasukan Belanda dari Gayo Alas menyerang Sisingamangaraja XII.

    Tahun 1907 pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade Setan mengepung Sisingamangaraja XII. Tetapi Sisingamangaraja XII tidak mau menyerah. Ia bertempur sampai titik darah penghabisan. Boru Sagala istri Sisingamangaraja XII dan Putra-Putri Sisingamangaraja XII yang masih kecil ditangkap pasukan Belanda. Menyusul Boru Situmorang ibunda Sisingamangaraja XII juga ditangkap, menyusul Sunting Mariam putri Sisingamangaraja XII dll juga ditangkap pasukan Belanda.

     Tahun 1907 dipinggir kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang, gugurlah Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda pimpinan Kapten Chirtoffel. Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Konon Sisingamangaraja XII yang kebal peluru tewas terkena peluru setelah terpercik darah putrinya Lopian, yang gugur dipangkuannya. Pengikut-pengikutnya berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan, sedangkan keluarga Sisingamangaraja XII yang masih hidup ditawan, dihina dan dinista, mereka pun menjadi ikut korban perjuangan.

    Demikianlah tanpa kenal menyerah, tanpa mau berunding dengan penjajah, tanpa pernah ditawan, gigih, ulet, Raja Sisingamangaraja XII selama 30 tahun, selama 3 dekade, telah berjuang tanpa pamrih dengan semangat dan kecintaannya kepada tanah Batak dan kepada kemerdekaannya yang tidak bertara. Itulah yang dinamakan "Semangat juang Sisingamangaraja XII" yang perlu diwarisi seluruh bangsa Indonesia, terutama generasi muda. Raja Sisingamangaraja XII benar-benar patriot sejati. Beliau tidak bersedia menjual tanah air untuk kesenangan pribadi.

     Sebelum beliau gugur, pernah penjajah Belanda menawarkan perdamaian kepada Raja Sisingamangaraja XII dengan imbalan yang cukup menggiurkan. Sisingamangaraja XII digoda berat. Beliau ditawarkan dan dijanjikan akan diangkat sebagai Sultan. Asal saja bersedia takluk kepada kekuasaan Belanda. Beliau akan dijadikan Raja tanah Batak asal mau berdamai. Gubernur Belanda Van Daalen yang memberi tawaran itu bahkan berjanji akan menyambut sendiri kedatangan Raja Sisingamangaraja XII dengan tembakan meriam 21 kali bila bersedia masuk ke pangkuan kolonial Belanda dan akan diberikan kedudukan dengan kesenangan yang besar asal saja mau kompromi. Tetapi Raja Sisingamangaraja XII menolak. Beliau berpendirian lebih baik berkalang tanah daripada hidup diperaduan penjajah.

     Raja Sisingamangaraja XII gugur pada tanggal 17 Juni 1907, tetapi pengorbanannya tidaklah sia-sia.
dan 38 tahun kemudian, Penjajah benar-benar angkat kaki dari Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta.


     Kini Raja Sisingamangaraja XII telah menjadi sejarah. Namun semangat patriotismenya, jiwa pengabdian dan pengorbanannya yang sangat luhur dan pelayanannya terhadap rakyat yang sangat agung, kecintaannya kepada bangsa dan tanah air yang begitu besar perlu diwariskan kepada generasi penerus bangsa Indonesia.

     Dalam upaya melestarikan sistem nilai yang melandasi perjuangan pahlawan nasional Raja Sisingamangaraja XII dengan menggali budaya dan nilai masa silam yang dikaitkan dengan keinginan membina masa depan yang lebih baik dan lebih bermutu, maka lembaga Sisingamangaraja XII yang didirikan dan diketuai DR GM Panggabean pada tahun 1979, telah membangun monumen pahlawan nasional Raja Sisingamangaraja XII di kota Medan yang diresmikan oleh presiden RI Soeharto di istana negara dalam rangka peringatan hari pahlawan 10 November 1997 dan pesta rakyat peresmian monumen tersebut di Medan di hadiri sekitar seratus ribu orang, dengan pembina upacara Menko Polkam Jenderal TNI  Maraden Panggabean.

    Kemudian oleh yayasan Universitas Sisingamangaraja XII pada tahun 1984 telah didirikan Universitas Sisingamangaraja XII (US XII) di Medan pada tahun 1986 Universitas Sisingamangaraja XII Tapanuli (UNITA) di Silangit Siborong-borong Kabupaten Tapanuli Utara dan pada tahun 1987 didirikan STMIK Sisingamangaraja XII di Medan.

Selasa, 01 Desember 2015

Asal Mula Kolam Sampuraga di Mandailing Natal

Pada zaman dahulu kala di daerah Padang Bolak, hiduplah di sebuah gubuk reot seorang janda tua dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Sampuraga. Meskipun hidup miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka bekerja sebagai tenaga upahan di ladang milik orang lain. Keduanya sangat rajin bekerja dan jujur, sehingga banyak orang kaya yang suka kepada mereka.

Pada suatu siang, Sampuraga bersama majikannya beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang setelah bekerja sejak pagi. Sambil menikmati makan siang, mereka berbincang-bincang dalam suasana akrab. Seakan tidak ada jarak antara majikan dan buruh.

“Wahai, Sampuraga! Usiamu masih sangat muda. Kalau boleh saya menyarankan, sebaiknya kamu pergi ke sebuah negeri yang sangat subur dan peduduknya hidup makmur,” kata sang Majikan.

“Negeri manakah yang Tuan maksud?” tanya Sampuraga penasaran, “Negeri Mandailing namanya. Di sana, rata-rata penduduknya memiliki sawah dan ladang. Mereka juga sangat mudah mendapatkan uang dengan cara mendulang emas di sungai, karena tanah di sana memiliki kandungan emas,” jelas sang Majikan. Keterangan sang Majikan itu melambungkan impian Sampuraga.

“Sebenarnya, saya sudah lama bercita-cita ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Saya ingin membahagiakan ibu saya,” kata Sampuraga dengan sungguh-sungguh.

“Cita-citamu sangat mulia, Sampuraga! Kamu memang anak yang berbakti” puji sang Majikan. Sepulang dari bekerja di ladang majikannya, Sampuraga kemudian mengutarakan keinginannya tersebut kepada ibunya.

“Bu, Raga ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Raga ingin mengubah nasib kita yang sudah lama menderita ini,” kata Sampuraga kepada ibunya. “Ke manakah engkau akan pergi merantau, anakku?”, tanya ibunya.

“Ke negeri Mandailing, bu. Pemilik ladang itu yang memberitahu Raga bahwa penduduk di sana hidup makmur dan sejahterta, karena tanahnya sangat subur,” jelas Sampuraga kepada ibunya.

“Pergilah, anakku! Meskipun ibu sangat khawatir kita tidak bisa bertemu lagi, karena usia ibu sudah semakin tua, tapi ibu tidak memiliki alasan untuk melarangmu pergi. Ibu minta maaf, karena selama ini ibu tidak pernah membahagiakanmu, anakku” kata ibu Sampuraga dengan rasa haru.

“Terima kasih, bu! Raga berjanji akan segera kembali jika Raga sudah berhasil. Doakan Raga, ya bu!“ Sampuraga meminta doa restu kepada ibunya.

“Ya, anakku! Siapkanlah bekal yang akan kamu bawa!” seru sang ibu. Setelah mendapat doa restu dari ibunya, Sampuraga pun segera mempersiapkan segala sesuatunya.

Keesokan harinya, Sampuraga berpamitan kepada ibunya. “Bu, Raga berangkat! jaga diri ibu baik-baik, jangan terlalu banyak bekerja keras!” saran Sampuraga kepada ibunya.

Berhati-hatilah di jalan! Jangan lupa cepat kembali jika sudah berhasil!” harap sang ibu.

Sebelum meninggalkan gubuk reotnya, Sampuraga mencium tangan sang Ibu yang sangat disayanginya itu. Suasana haru pun menyelimuti hati ibu dan anak yang akan berpisah itu. Tak terasa, air mata keluar dari kelopak mata sang Ibu. Sampuraga pun tidak bisa membendung air matanya. Ia kemudian merangkul ibunya, sang Ibu pun membalasnya dengan pelukan yang erat, lalu berkata: “Sudahlah, Anakku! Jika Tuhan menghendaki, kita akan bertemu lagi,” kata sang Ibu.

Setelah itu berangkatlah Sampuraga meninggalkan ibunya seorang diri. Berhari-hari sudah Sampuraga berjalan kaki menyusuri hutan belantara dan melawati beberapa perkampungan. Suatu hari, sampailah ia di kota Kerajaan Pidoli, Mandailing. Ia sangat terpesona melihat negeri itu. Penduduknya ramah-tamah, masing-masing mempunyai rumah dengan bangunan yang indah beratapkan ijuk. Sebuah istana berdiri megah di tengah-tengah keramaian kota. Candi yang terbuat dari batu bata terdapat di setiap sudut kota. Semua itu menandakan bahwa penduduk di negeri itu hidup makmur dan sejahtera.

Di kota itu, Sampuraga mencoba melamar pekerjaan. Lamaran pertamanya pun langsung diterima. Ia bekerja pada seorang pedagang yang kaya-raya. Sang Majikan sangat percaya kepadanya, karena ia sangat rajin bekerja dan jujur. Sudah beberapa kali sang Majikan menguji kejujuran Sampuraga, ternyata ia memang pemuda yang sangat jujur. Oleh karena itu, sang Majikan ingin memberinya modal untuk membuka usaha sendiri. Dalam waktu singkat, usaha dagang Sampuraga berkembang dengan pesat. Keuntungan yang diperolehnya ia tabung untuk menambah modalnya, sehingga usahanya semakin lama semakin maju. Tak lama kemudian, ia pun terkenal sebagai pengusaha muda yang kaya-raya.

Sang Majikan sangat senang melihat keberhasilan Sampuraga. Ia berkeinginan menikahkan Sampuraga dengan putrinya yang terkenal paling cantik di wilayah kerajaan Pidoli.

“Raga, engkau adalah anak yang baik dan rajin. Maukah engkau aku jadikan menantuku?” tanya sang Majikan.

“Dengan senang hati, Tuan! Hamba bersedia menikah dengan putri Tuan yang cantik jelita itu,” jawab Sampuraga.

Pernikahan mereka diselenggarakan secara besar-besaran sesuai adat Mandailing. Persiapan mulai dilakukan satu bulan sebelum acara tersebut diselenggarakan. Puluhan ekor kerbau dan kambing yang akan disembelih disediakan. Gordang Sambilan dan Gordang Boru yang terbaik juga telah dipersiapkan untuk menghibur para undangan.

Berita tentang pesta pernikahan yang meriah itu telah tersiar sampai ke pelosok-pelosok daerah. Seluruh warga telah mengetahui berita itu, termasuk ibu Sampuraga. Perempuan tua itu hampir tidak percaya jika anaknya akan menikah dengan seorang gadis bangsawan, putri seorang pedagang yang kaya-raya.

“Ah, tidak mungkin anakku akan menikah dengan putri bangsawan yang kaya, sedangkan ia adalah anak seorang janda yang miskin. Barangkali namanya saja yang sama,” demikian yang terlintas dalam pikiran janda tua itu.

Walaupun masih ada keraguan dalam hatinya, ibu tua itu ingin memastikan berita yang telah diterimanya. Setelah mempersiapkan bekal secukupnya, berangkatlah ia ke negeri Mandailing dengan berjalan kaki untuk menyaksikan pernikahan anak satu-satunya itu. Setibanya di wilayah kerajaan Pidoli, tampaklah sebuah keramaian dan terdengar pula suara Gordang Sambilan bertalu-talu. Dengan langkah terseok-seok, nenek tua itu mendekati keramaian. Alangkah terkejutnya, ketika ia melihat seorang pemuda yang sangat dikenalnya sedang duduk bersanding dengan seorang putri yang cantik jelita. Pemuda itu adalah Sampuraga, anak kandungnya sendiri.

Oleh karena rindu yang sangat mendalam, ia tidak bisa menahan diri. Tiba-tiba ia berteriak memanggil nama anaknya.

Sampuraga sangat terkejut mendengar suara yang sudah tidak asing di telinganya. “Ah, tidak mungkin itu suara ibu,” pikir Sampuraga sambil mencari-cari sumber suara itu di tengah-tengah keramaian. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba seorang nenek tua berlari mendekatinya.

“Sampuraga…Anakku! Ini aku ibumu, Nak!” seru nenek tua itu sambil mengulurkan kedua tangannya hendak memeluk Sampuraga.

Sampuraga yang sedang duduk bersanding dengan istrinya, bagai disambar petir. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi merah membara, seakan terbakar api. Ia sangat malu kepada para undangan yang hadir, karena nenek tua itu tiba-tiba mengakuinya sebagai anak.

“Hei, perempuan jelek! Enak saja kamu mengaku-ngaku sebagai ibuku. Aku tidak punya ibu jelek seperti kamu! Pergi dari sini! Jangan mengacaukan acaraku!”, hardik Sampuraga.

“Sampuragaaa…, Anakku! Aku ini ibumu yang telah melahirkan dan membesarkanmu. Kenapa kamu melupakan ibu? Ibu sudah lama sekali merindukanmu. Rangkullah Ibu, Nak!” Iba perempuan tua itu.

“Tidak! Kau bukan ibuku! Ibuku sudah lama meninggal dunia. Algojo! Usir nenek tua ini!” Perintah Sampuraga.

Hati Sampuraga benar-benar sudah tertutup. Ia tega sekali mengingkari dan mengusir ibu kandungnya sendiri. Semua undangan yang menyaksikan kejadian itu menjadi terharu. Namun, tak seorang pun yang berani menengahinya.

Perempuan tua yang malang itu kemudian diseret oleh dua orang sewaan Sampuraga untuk meninggalkan pesta itu. Dengan derai air mata, perempuan tua itu berdoa: “Ya, Tuhan! Jika benar pemuda itu adalah Sampuraga, berilah ia pelajaran! Ia telah mengingkari ibu kandungnya sendiri.

Seketika itu juga, tiba-tiba langit diselimuti awan tebal dan hitam. Petir menyambar bersahut-sahutan. Tak lama kemudian, hujan deras pun turun diikuti suara guntur yang menggelegar seakan memecah gendang telinga. Seluruh penduduk yang hadir dalam pesta berlarian menyelamatkan diri, sementara ibu Sampuraga menghilang entah ke mana. Dalam waktu singkat, tempat penyelenggaraan pesta itu tenggelam seketika. Tak seorang pun penduduk yang selamat, termasuk Sampuraga dan istrinya.

Beberapa hari kemudian, tempat itu telah berubah menjadi kolam air yang sangat panas. Di sekitarnya terdapat beberapa batu kapur berukuran besar yang bentuknya menyerupai kerbau. Selain itu, juga terdapat dua unggukan tanah berpasir dan lumpur warna yang bentuknya menyerupai bahan makanan. Penduduk setempat menganggap bahwa semua itu adalah penjelmaan dari upacara pernikahan Sampuraga yang terkena kutukan. Oleh masyarakat setempat, tempat itu kemudian diberi nama “Kolam Sampuraga”. Hingga kini, tempat ini telah menjadi salah satu daerah pariwisata di daerah Mandailing yang ramai dikunjungi orang.

Kolam Sampuraga di Mandailing Natal


Cerita di atas termasuk cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan teladan dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada tiga pesan moral yang dapat diambil sebagai pelajaran dari cerita di atas, yaitu: sifat rajin bekerja, sifat jujur dan sifat durhaka terhadap orang tua. Ketiga sifat tersebut tercermin pada sifat dan perilaku Sampuraga.

Demikian cerita sampuraga yang telah di ambil dari berbagai sumber, sehingga legenda yang mulai terlupakan oleh segenap warga demi untuk melihat betapa hebatnya ganjaran yang didapat seorang anak bila durhaka kepada orang tua. Cerita yang bisa menarik objek wisata ini seolah terabaikan oleh pemerintah demi untuk tetap menjaga alkisah sampuraga dengan berbagai peninggalan sejarah yang melegenda secara nasional.

Di sekolah juga sudah jarang terdengar bagaimana legenda dahulu yang bisa menggugah hati para siswa agar sampuraga adalah anak durhaka yang tidak perlu di tiru sebab pendidikan ahlak sangat minim, sehingga adat istiadat Mandailing yang punya tutur sapa yang halus dan lembut kini mulai pudar akibat dari berbagai kebudayaan barat yang sudah menjadi bahan tontonan di berbagai media televisi.

Dari legenda juga adat istiadat yang bisa menuntun generasi penerus bangsa harus tetap dilestarikan dengan berbagai metode pendidikan sekolah untuk tidak mentiadakan adat dan budaya Mandailing yang kini sudah terkikis oleh zaman.

Pemerintah Daerah, DPRD Madina (Mandailing Natal) juga pemangku adat harus tetap menjaga anak sebagai penerus untuk tetap mengetahui adat istiadat Mandailing yang mempunyai adat yang tinggi juga alkisah yang harus tetap menjadi bahan contoh untuk semua orang agar tetap menghargai orang tua sebagaimana legenda sampuraga.